Monday, September 19, 2016

Aku Berduka. Sangat.

Kedua kaki yang terbiasa menopang tubuh gue dalam menghantam semua cobaan hidup, bener-bener lunglai. Nggak ada kekuatan sama sekali. Tulang-tulangnya kerasa kayak ilang nggak tau kemana. Air mata terproduksi dengan teramat banyaknya sehingga sanggup terus mengalir selama rasa kaget dan duka yg amat dalam ini ada di dada.

Udah nggak peduli lagi alis harus diapain, mata harus dibingkai dengan eyeliner, dan pinggiran bibir yang gelap harus ditutupi dengan lipstik. Nggak peduli lagi. Biarkan mereka apa adanya. Biarkan mereka ikut berduka. Kedua tangan yang terbiasa dipakai untuk 'mencangkul' demi memenuhi semua kebutuhan 4 anak, cuman bisa memegang lemah lengan anak kedua gue, Marshall.

Anak manis yang baru berusia 10 tahun ini harus mengubah fungsinya dari seorang anak yang juga berduka sangat, menjadi sosok lelaki yang menjadi tempat ibunya bersendar. Menguatkan ibunya. Mommy runtuh. Gitu pikirnya.

Iya. Big Mommy rasanya lossss kehilangan separuh jiwa dan raganya. Suami yang biasanya menjadi setengah jiwanya dalam berjuang di dunia, telah dipanggil Allah. Gue nggak tau gimana harus bangkit sesudah ini. Gue nggak tau gimana harus menjadi kuat sesudah ini. Gue nggak tau gimana bisa hidup tanpa cintanya sesudah ini.

Gue hanya bisa menangis. Meraung. Bersender. Gue lemah.. Gue nggak ingin beliau pergi secepat ini.

Lalu tiba-tiba situasi berubah. Total.
Tiba-tiba berasa seolah-olah gw berada beberapa meter dibatas tanah. Menyaksikan orang-orang yang sedang berduka. Gue menyaksikan suami gue menitikkan air mata. Empat anak gue berangkulan menangis bersama. Mereka menangisi kepergian Big Mommy nya.

Ternyata gue yang sedang berkafan siap-siap masuk ke liang kubur. Sementara gue berusaha menjerit kepada suami dan anak-anak gue. Nggak ada yg bisa denger sama sekali. Nggak ada.

"Saling jaga ya nak.. saling sayang.
Kalian harus kuaaatt!!!"

Mereka nggak dengar.
Tanah mulai dijatuhkan ke liangnya. Pertanda sebentar lagi akan tertutup jasad gue dengan tanah.

Mulai berasa sakit.
Mulai berasa takut.
Gue sangat jarang ketakutan. Tapi ini gue takut dan gue pun mulai nangis menjerit.

Gue coba menjeritkan ke suami dan anak-anak gue. Nggak ada yang bisa denger. Nggak ada.

"Jangan pernah tinggalkan shalaaaaattt. Jangan! Kalian pasti menyesal. Sakit banget ini! Banyakin amal baik. Banyakin!!"

Terus gue teriak kesakitan. Tapi gue nggak tau gue diapain.

Lalu gue terhenyak. Gue sadar dengan keadaan deg2an. Gue nggak lagi tidur. Tapi tiba2 gambaran itu muncul di dalam kepala gue.

Strong message. Banget.
Gue tersadarkan akan banyak hal.

Gue belum sepenuhnya mencintai Allah. Gue menumpahkan keseluruhan cinta gue ke suami gue. Sehingga apa jadinya kalau beliau dipanggil nanti. Gue akan lemah. Sangat. Beda halnya kalau gue konsentrasikan cinta gue kepada Allah. Pasti cinta gue terhadap suami juga terjaga. Tapi ada sumber kekuatan yang masuk ke hati gue untuk persiapan ketika hal yg gue takutkan terjadi.

Gue masih harus meningkatkan hormat dan rasa bakti gue ke suami gue. Karena di dunia ini, jelas terlihat gue masih 'lumpuh' tanpa beliau.

Gue masih kurang amalan baik.
Shalat gue pun masih belum baik.
Masih diberi kesempatan oleh Allah untuk memperbaiki diri. Masih. And I will take that chance. Starting from now. Ketika strong reminder itu terjadi beberapa jam yg lalu dan langsung gue tuliskan ketika gue sedang terduduk di Mall menunggu jadwal meeting.

Tulisan ini akan menjadi pengingat gue from time to time. In syaa Allah.


Lemonilo di Keluarga Baim Wong

  Baru selesai nonton video Youtubenya Baim Wong dan istrinya Paula. Seneng ya kalo liat ada kesamaan yg dilakukan selebriti dengan kita, r...