Anak itu sejatinya ketika lahir mereka itu suci. Bening. Rapuh. Cuman bisa nangis. Begitu mereka keluar dari rahim ibunya ya. Sesudah itu cuman ngerti nangis, nenen, pup. Gitu aja terus. Tentang bagaimana mereka akhirnya terbentuk kepribadiannya, itu ada di tangan orangtuanya dan lingkungannya si anak berada.
Jadi kalau ada anak yang tumbuh menjadi anak yang santun, anak yang ramah, anak yang mampu mendengarkan pendapat orang lain, pandangilah dengan bangga kedua orangtuanya.
Dan ketika anak yang tumbuh menjadi seorang pembully, maka orangtuanya patut mengintrospeksi diri dan memikirkan dengan serius apa yang perlu diperbaiki dalam membimbing anaknya.
Fakta yang terjadi dalam hidup Madam. Dari banyak kejadian bully atau yang berupa intimidasi, anak-anak pembully ini tidak mempunyai komunikasi yang baik dengan orangtuanya. Dan orangtua anak-anak pembully ini ada yang tipenya seperti keset (terlalu lembek, sehingga diinjak-injak oleh anaknya) dan ada juga yang terlihat seperti monster (tipe militer). Caranya menggali cerita dari anaknya aja dengan cara ngomong yang kasar, dan berujung kalau nggak kepala anaknya ditoyor-toyor, ya anaknya ditendang. Duh!
Madam sudah bilang di postingan sebelumnya (postingan ini ada serinya ya.. ini pertama, dan ini kedua). Anak Madam ada 4. Hingga detik ini, tidak ada satupun dari mereka yang terbentuk menjadi pribadi pembully. Lalu bagaimana cara Madam dan suami dalam mendidik mereka? Beginilah cara kami The Kairupans bagaimana mendidik anak supaya tidak tumbuh menjadi anak pembully. Kami bukan pakar parenting, bukan pakar pendidikan, cuman sepasang orang tua yang gayanya koboi banget parentingnya tapi berpegangan pada agama dan insting kami.
NGERTI DULU PERILAKU BULLY ITU APA SIK
Bullying itu adalah suatu tindakan agresif dari seorang anak yang menggunakan kekuatan fisik, atau kekuatan kata-kata yang kasar untuk memaksa, mengancam, menguasai, atau mengintimidasi anak lainnya. Dan tindakan ini dilakukan berulang-ulang, sehingga menjadi kebiasaan.
Penyebab anak-anak ini membully orang lain itu bermacam-macam. Kasuistik. Tapi beberapanya di antaranya adalah..
Kurangnya rasa hormat dan toleransi terhadap orang lain. Again. Kita bisa melihat bahwa rasa hormat dan toleransi ini harusnya ditanamkan dari anak kecil oleh orangtuanya.
Rasa insecure anak. Mereka merasa aktualisasi atau eksistensi diri mereka terancam oleh keberadaan orang lain. Bisa jadi oleh anak yang lebih pintar, lebih good-looking, lebih kaya, lebih baik, lebih populer. Jadi dia mau nunjukin bahwa dirinya masih berada di atas anak tersebut. Dia mau nunjukin dirinya lebih populer.
Energi berlebih yang ada dalam diri anak dan dia bingung bagaimana mau menyalurkannya. Dia bingung mau ngapain, karena harusnya orangtuanyalah yang mengarahkan dia. Disini bisa dilihat bahwa orangtua lalai menjalani fungsinya sebagai orangtua. Untuk alasan ini ya.
BAGAIMANA MENDIDIK ANAK AGAR NGGAK JADI PEMBULLY?
Nggak ada yang namanya sekolah kursus untuk jadi orangtua. Tapi Allah sudah menyediakan modal untuk kita kita para orangtua agar berhasil mendidik anak kita. Yaitu agama dan juga insting orangtua. Jadi 2 hal itu yang kami gunakan saat kami membimbing anak-anak kami. Nggak ada text booknya. Semua kembali ke agama, dan juga insting kami.
Jadi kami akan mempermudah untuk teman-teman semua dengan menjelaskan secara rinci apa aja yang kami berlakukan di keluarga kami ini. Mendidik mereka agar tidak menjadi pembully.
1. Sharing is caring
Mau anak kalian cuman 1 bijik. Mau anak kalian banyak. Tetep ini adalah nilai yang harus ditanamkan ke anak, sejak dia bisa berinteraksi dengan manusia lainnya. Berinteraksi dengan ibunya. Berinteraksi dengan ayahnya. Berinteraksi dengan balita-balita seusianya.
Ketika krucil masih di bawah 1 tahun, Madam mulai ajarkan nilai sharing is caring ke ibunya. Bisa dari hal kecil kok. Ketika dia lagi snack time, dan si anak suka banget sama snacknya, mulai ajarkan untuk bisa share ke ibunya.
Ketika ada batita lain yang main ke rumah, atau pas playdate.. ajarkan anak untuk sharing mainannya. Anaknya nggak mau? Malah mewek? Ya gpp. Ajakin aja minggir dulu. Terus kasih contoh bahwa kita emaknya, sharing makanan sama emak yang lain. Nanti si anak ngeliat. Lalu dia rekam. Itu kalo belonan bisa ngomong dan diajakin 2 ways communication yak.
Lha kalo anak udah mulai bisa diajakin ngomong, umur 3 tahun misalnya? Ajakin anak misah dulu bentar kira-kira 2 menit. Terus tanyain aja kenapa nggak mau sharing. Itu kan teman baru kamu. Nah, gunakan deh fungsi telinga kita sebagai orangtua. Kalau si anak bilang “nanti mainanku dibawa pulang..” ya kita tenangkan aja dengan bilang “ow jangan khawatir. A itu anak baik kok. Dia nggak akan bawa pulang mainan kamu. Dan kalau dia mau bawa pulang, Mommy nanti yang akan bilangin ke ibunya. Mommy jamin, mainan kamu aman..”
Gitu lhoooo.. Anak itu bisa kok diajakin komunikasi.
Weleh.. anak saya mah ga bisa Madaaaam.. Tetep aja nggak mau tuh. Jadi ya biarin ajalah…
Ya nggak gitulah cara mainnya Sugiyeeem. Kita sebagai orangtua yang pegang kendali. Gunakan dong kecerdikan kita. Kalau Madam biasanya langsung ajukan negosiasi..
“Mommy sedih sih kamu nggak mau sharing. But it’s ok.
Mungkin nggak sekarang ya.
Tapi next time kalau playdate lagi, kamu mau yaa sharing sama teman?
Mommy akan ajarin nanti di rumah..”
Gitu lhooooo…
Never give up. Ini tuh value penting dalam kehidupan si anak. Kalo loe cuek-cuek aja, ya selamat deh.. anak loe akan berpotensi jadi pembully. Dan besar kemungkinannya akan selalu bergesekan dengan orang lain. Dan.. bukan nggak mungkin kalian akan bergesekan dengan orangtua anak yang macam Madam ini. Bertindak tegas dan gahar terhadap kasus bully. Hayoloooohhhh….
2. Ajari anak untuk berlaku baik dan menghormati orang lain
Ya pastilah Madaaaam. Semua orangtua pastilah ngajarin anaknya utk berlaku baik dan hormat sama orang lain. Emang kita bego apa.
Eitsss tapi bener-bener secara detail nggak?
Bener-bener dipantau nggak?
Bener-bener dikasih masukan nggak kalau mereka keluar jalur?
Madam liat pake mata sendiri kok, ada ortu yang malah senyum-senyum getir malu ketika dia dibentak anaknya di depan temen-temen ibunya.
Banyak ini kejadiannya. Ayo seberapa sering kamu terlibat atau liat, ada mamah-mamah muda lagi ngumpul sama temen-temennya, terus dengan bangga hati bawa anaknya, karena salah satu kebanggaan orangtua kan anak-anaknya kan yaaaa, pasti pingin dipamerinlaahh..
Tapi ketika anaknya dibawa ikut, nggak mau salaman sama temen-temen ibunya. Kalau ditanya nggak mau jawab. Nggak mau kenalan sama anak-anak lain yang ikutan juga.
Dan ketika waktunya pesan makanan, ngebentak ibunya karena ngotot mau makan pilihannya sendiri. Lalu si ibunya cuman bisa..
“iya sayaang.. sebentar yaa.. mama udah pesenin kok. Tunggu ya sayang..”
Wadidaaaww..!
That’s not my parenting. Kalau Madam ada di posisi itu (alhamdulillah belum pernah..) yang akan Madam lakukan adalah, Madam langsung pay attention ke si anak. Liat matanya. Dan tentu aja dengan volume suara yang kecil, Madam akan langsung bilang..
“Bukan begitu cara yang baik untuk bicara sama Mommy ya.
Kamu bisa bicara baik-baik. Dan Mommy akan kasih.
Kalau cara kamu nggak baik seperti ini, apa pantas Mommy kasih apa yang kamu mau?”
Nyoh.. ajak anak mikir..
Lalu minta dia jawab. Jangan biarin anak diem aja..
Dan arahkan dia untuk minta maaf..
Lalu giliran kita bicara..
“OK. Apology accepted. Next time jangan gitu ya sayang.
Mommy sedih kalau kamu begitu. Ayo, mau pesan apa?”
Nah.
Detail.
Dan langsung tanggap. Jadi kalau Madam gayanya ya saat itu juga langsung diselesaikan. Yaaaahh.. gaya parenting saya slebor sekali memang. Biasanya suka bertentangan dengan parenting2 kelembutan masa kini. Tapi ambil yang bagus-bagusnya ajalaah. Yang bisa kalian adaptasi ke gaya parenting kalian. Kalau di Madam, hal ini berhasil di 4 anak Madam.
Intinya gini. Kalau ke ibunya aja si anak berani kasar ngomongnya, gimana ke orang lain coba? Dan kalau kita melihat anak kita berlaku kasar ke anak lainnya, tegur saat itu juga. Ajak bicara baik-baik. Tapi tegas ya.
Madam ceritakan 1 kasus lagi ya. Kali ini tentang si Entong. Alias Marvell. Atau Syauqi, begitu kami orangtuanya memanggilnya.
Pas semester awal di kelas 8 ini dia cerita bahwa ada seorang cewek yang ‘nembak’ dia. Minta dia jadi pacarnya. Madam minta dia ceritain detail gimana si Entong bereaksi atas permintaan si cewek tadi.
“Syauqi bilang aja Mommy..
Hah? Jadi pacar kamu? Waktu kelas 7 aja kamu minta aku pergi jalan sama kamu aja aku nggak mau, apalagi jadi pacar kamu?”
Oucchhh! Harsh ya. Kasar sekali. Gitu pikir Madam. Tapi Madam coba gali lagi ceritanya.
“Wow! Itu kok agak menyakitkan ya kayaknya, Syauq.
Kenapa kok kamu ngomong begitu?”
“Karena dia itu udah ngeganggu banget Mommy. Kalau tiap ketemu tuh ngeganggu banget…blablablablabla..”
Pokoknya dia cerita bahwa ini cewek agresif banget deh, dan susah untuk terima kata ‘nggak’ dari si Entong. Jadi ketika itu cewek minta Marvell jadi pacarnya, si Entong memutuskan kasih kata pedas.. Lalu Madam bersabda.. (ini biasanya kami berkomunikasi mostly dengan bahasa Inggris yak, tapi di postingan ini Madam bikin versi bahasa Indonesianya, biar semua ngatri gituuu..)
“Syauq, Mommy ngerti sik kalo kamu ngerasa terganggu banget sama si cewek ini. Tapi kamu harus inget. Dia itu perempuan. Punya perasaan. Perasaan perempuan itu lebih halus.
Mommy perempuan.
Adik kamu perempuan.
Jadi kamu harus bisa memikirkan itu juga, apakah kata-kata kamu itu bisa mempermalukan dia, atau bikin sakit hati dia.
Apa kamu mau ada orang yang berkata kasar kayak gitu ke adik kamu?”
“Nggak mau, Mommy..”
“Nah.. cobalah minta maaf. Dan next time untuk nggak begitu lagi ya..”
That’s that. Ajarin anak untuk berbuat baik dan menghormati orang lain. Tanamkan, ingatkan terus, kasih contoh, dan kasih teguran. Itu caranya ngajarin anak. Jadi bukan cuman diomongon doang. Tapi nggak dipantau anaknya mengerjakan atau nggak.
Mostly yang dilakukan orangtua adalah cuman cuap-cuapnya aja, tapi nggak dipantau, nggak dikoreksi. Cuman dimaklumi aja. Selamat.. disitulah potensi anak tumbuh menjadi pembully.
3. Kasih contoh yang baik
Ada 2 hal yang akan Madam bahas tentang kasih contoh yang baik ini pada anak. Kalian pasti udah baca postingan sebelumnya Anakku Dibully-The Story kan? Udah baca kan yaa Anakku Dibully-Kok Ada Ya Anak Pembully? Part 1?
Bisa dilihat disitu bagaimana anak mengikuti perilaku bapaknya.
Nggak peduli sama orang.
Merasa kekuatan fisik bisa membuat dia berkuasa atas orang lain.
Egois.
Kalau orangtuanya sering kasih liat ke anaknya bagaimana agresifnya dalam menghadapi suatu momen, ya anaknya jadinya ngikutin. Karena dia ngerasa dapet contohnya ya kayak gitu. Dan kalau si anak melakukan kesalahan, akan ada ‘kekuatan’ lainnya yang akan melindungi dia kok. Sesimple itu si anak akan berpikir.
Jadi, sebisa mungkin kita bisa kasih contoh yang baik kepada anak di rumah dan dimanapun saat kita bersama anak.
Hal yang kedua dalam hal memberikan contoh ini adalah, ketika kita mengajarkan sesuatu pada anak, jangan cuman dengan lisan aja. Tapi kasih juga contoh visualnya. Kasih contoh prakteknya. Maka anak akan mengerti lebih dalam lagi, dan in syaa Allah siap mempraktekkannya. Karena kemampuan pemahaman tiap anak itu kan berbeda.
Ribet ya? Ya nggaklah. Karena emang metode pengajaran yang baik dan benar itu kan bukan cuman dengan ngoceh doang. Pake prakteknya dong. Pake contoh. Karena punya anak itu bukanlah kita lagi main ibu-ibuan. Ini adalah panggung yang serius. Jadi kerjakan fungsi orangtua dengan baik dan benar.
4. Jangan jadi kaum yang ngandelin ‘namanya juga anak-anak’
Hanya orangtua yang melempemlah yang kerjanya berlindung di balik kalimat ‘namanya juga anak-anak’ tiap kali anaknya bikin ulah agresif terhadap anak lainnya. Kalau kita cerdas, justru pada saat dia masih anak-anak itulah kita harus bisa mendidik mereka dengan baik. Kalau mereka keluar jalur, langsung dengan sigap dibenerin lagi. Ditegur. Diajak bicara.
Selama ini yang Madam liat langsung, hampir semua orangtua yang kasih komen ‘duh, maaf ya, namanya juga anak-anak..’ mereka adalah orangtua yang tipe keset. Orangtua yang kerap ‘diinjak-injak’ oleh anaknya. Apa mau anaknya pasti diturutin. Kalau anaknya bentak-bentak, teriak-teriak, orangtuanya cuman bisa senyum atau ngelus dada.
Kadang anak-anak itu nggak ngerti apa yang mereka lakukan akan mengakibatkan apa. Jadi kadang mereka itu juga nyoba-nyoba. Kalau saya begini, reaksi ibu saya kayak gimana ya?
Lha kalo anaknya bentak-bentak emaknya di mall terus emaknya cuman bisa bilang ‘jangan gitu sayang, mau apa.. mau apa..’ ya anak akan membangun sistem di dalam otaknya bahwa ternyata kalau saya beraksi kasar, ibunya saya nggak akan negur kok, malah akan nurutin apa mau saya. Nah kayak gini kan udah salah setel dari awal jadinya. Dia merasa bahwa hal itu adalah wajar dan bisa diberlakukan ke teman-temannya, atau bahkan gurunya. Beuuuhh.. ada kok anak SD kelas awal yang kalau tantrum atau pas lagi ngambek sambil nendang-nendang guru dan sambil teriak-teriak ‘sana loe.. sana loe..!’. Itu ujicoba awalnya dari mana coba? Ya dari rumah lah pastinya praktek awalnya…
Jadi stop jadi orangtua yang ngandalin statement ‘namanya juga anak-anak’ ketika anaknya melakukan tindakan agresif terhadap anak lainnya.
5. Asah skill ‘zoom-in’ dan ‘zoom-out’ anak
Apa pulak ini skill zoom-in zoom-out? Anak diajarin selfie maksudnya? Bukaaaan. Ini cuman istilah aja.
Jadi anak sedari kecil udah kita ajarkan kemampuan untuk zoom-in. Kemampuan untuk melihat lebih dekat dengan menggunakan telinga. Yup. Mendengar. Anak kita ajarkan berinteraksi dengan orang lain menggunakan telinganya.
Mendengar apa yang sedang terjadi di sekelilingnya.
Mendengar apa yang sedang diceritakan orang lain.
Mendengar apa instruksi yang diberikan orangtuanya.
Sambil juga, ajarkan anak mengoptimalkan fungsi zoom-outnya. Yaitu dengan melihat apa yang terjadi di sekelilingnya.
Siapa aja yang sedang ada di sekelilingnya.
Siapa aja yang bisa diajak bermain.
Dengan 2 skill ini, anak akan mampu berinteraksi dan ‘nyambungin’ dirinya dengan orang lain. Kalau dia sudah mampu berinteraksi dengan orang lain, secara otomatis dia akan belajar tentang caranya toleransi dengan orang lain.
Dengan kemampuan zoom-in zoom-out ini, anak bisa melihat bahwa bukan hanya dia yang menjadi pusat dunia. Akan selalu ada orang lain yang harus mereka jaga perasaannya.
Caranya gimana sik Madam?
Ya gampang aja sik.. sejak anak kecil, dan saat lagi interaksi sama emaknya, ya ajarin aja untuk dengerin perintah2 fun dari kita apa aja.
“Ayoo.. buang tissue kotornya ke tempat sampah yaa..”
Atau bisa juga dengan praktek yang menggunakan perasaan..
Pasang muka melow, lalu bilang..
“Nak, Mommy kangen sama Opa. Kamu kangen nggak sama Opa.
Kalau lagi kangen gini enaknya kita ngapain ya?
Oiya yaaa.. kita video call ya sama Opa..”
Jadi anak diajak berdialog, berpikir cari solusi, dan terlibat dalam mempraktekkan solusi tersebut. Itu aja udah langsung tuh skill zoom-in dan zoom-outnya terpraktekkan dengan baik.
Kalau dia lagi sama temen-temennya, bisa juga dilatih dengan sharing mainannya. Kalau temannya perempuan, ajak diskusi mainan kayak gimana enaknya kalau untuk anak perempuan, mainan kayak gimana enaknya kalau untuk anak laki-laki.
6. Biasakan segera menuntaskan masalah
Kalau anak lagi tantrum di rumah, biasakan untuk ajak bicara dan cari tau kenapa mereka berperilaku begitu.
Lhaaaa.. masih kicik Madaaam. Gimana ngajak ngomongnya?
Lha.. kan situ ortunya? Harusnya yang paling tau gimana cara komunikasi ke anak kan orangtuanya dong? Walaupun anak umur 2 tahun, 3 tahun, mereka itu udah bisa diajakin ngomong tauuukk..
Jadi kalau anak lagi marah, atau mereka lagi berantem sama adik atau kakaknya, biasakan untuk segera selesaikan masalah saat itu juga. Langsung ajak konferensi meja bundar. Ajak diskusi. Kita sebagai hakim harus bisa ketok palu dan menyatakan masalah selesai.
Jangan dipending. Jangan kasih anak celah untuk pergi masuk ke kamarnya dengan hati yang masih panas dan emosi yang tinggi. Karena ini berpotensi dia akan menyalurkan kelebihan energinya itu dengan cara yang agresif atau destruktif. Perilaku kayak gini ini yang biasanya dimiliki anak-anak pembully.
7. Gali skill anak
Pasti semua orangtua memiliki kemampuan untuk bisa melihat skill anak-anaknya. Dan masih banyak yang nggak melakukan apa-apa atas skill anaknya tersebut, bukan malah mengasahnya.
Anak yang punya skill, dan kita sebagai orangtua mampu menggali dan mengoptimalkan skill atau bakat anak kita, maka anak kita nggak akan tumbuh menjadi anak yang rungsing. Mereka malah akan menjadi anak yang tenang dan memiliki kreatifitas tinggi.
Anak-anak itu energinya buesar banget lhoo.. Lebih besar dari badan mereka. Jadi kalau nggak disalurkan semua, ya bisa-bisa nanti anaknya tuh malah jadi agresif karena mereka bingung mau gimana nyalurinnya, karena punya ortu tapi nggak bisa mengarahkan.
Kalau anaknya seneng musik dan gebuk sana sini, ajakin aja ke toko musik dan nyobain drum. Sapa tau suka. Kalau suka, ya masukin aja les musik drum. Gebuk-gebuk deh tuh drum.
Jadi selain pendidikan akademis yang pastinya bakal bikin anak jenuh, udah pasti harus ada kegiatan lain yang mengasah skill anak-anak kita.
8. Komunikasi sama anak gimana?
Kalau dilihat dari hampir semua poin di atas yang udah Madam jembrengin, semuanya itu menggunakan aspek komunikasi. Nah banyak jalinan komunikasi antara anak dan ortu yang broken nih. Banyak yang hanya satu arah aja. Isinya cuman perintah perintah perintah perintah dari orangtuanya aja.
Komunikasi dua arah.
Si orangtua bisa lancar mengutarakan apa harapan-harapannya kepada anak.
Si anak bisa sumringah ceritain apa aja maunya.
Orangtua bisa dengan leluasa memberikan masukan kepada anak dengan cara yang bisa diterima dengan baik oleh anak.
Si anak juga bisa menangkap apa yang dimaksud oleh orangtua.
Yang kayak-kayak gitu itu lhooo..
Ini pada prakteknya banyak yang ketika si orangtua nyoba bilangin ke anak untuk nggak gini, nggak gitu.. anaknya melengos aja.
Malah ada orangtua yang ngerasa anaknya adalah anak yang manis kalau di rumah (iya saking manisnya sampek jarang ngomong kalau di rumah), eehh di sekolah malah ngerokok, ngevape. Masih SMP kelas 8 lho. Sementara ibunya udah ngotot-ngotot kalau anaknya adalah anak yang baik.
Ini kurang lebih karena ada fungsi komunikasi yang nggak jalan. So, please make sure, jalur komunikasi ini udah dibangun sejak anak masih kicik yaaa…
9. Siapkan anak untuk masuk lingkungan baru
Nah ini yang para ortu suka nggak ngeh niiiih…
Aaaahh.. nggak kok Madam. Saya bilangin kok ke anak pas besok hari pertama sekolah itu kayak gimana aja..
Ya kalo pas mau masuk SD aja kaann? Lingkuran baru itu bukan cuman sekolah. Kebiasaan kayak gini tuh udah harus dibiasakan dari si anak kicik. Umur setahun, 2 tahun, 3 tahun, dst..
Pertama kali mau ajak anak ke mall untuk ketemuan sama temen?
“Nak, nanti kita ketemuan temen Mommy di mall ya.
Dia itu temen SMA Mommy. Orangnya cantik. Pinter. Nanti kamu juga kayaknya pinter kayak dia deh.
Nanti kalau ketemu, jangan lupa smile, salam, dan talk yaa (talk ini maksudnya mau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan orang lain)
Banyak yang ke-skip kebiasaan ini kan? Hayooo ngakuuuu…
Mau ngajak anak ke playground?
“Asiiiikk, kita ke playground yaa. Kamu pastiiiiii suka. Banyak banget mainannya. Tapi akan banyak anak-anak lainnya juga.
Nanti jangan lupa sharing mainannya kalau kamu udah lama mainnya ya.
Kalau kamu baru main, tapi anak lainnya udah minta, kamu bisa bilang ‘tunggu ya, aku sebentar lagi selesai’”
Terpaksa ngajak anak ke meeting sama client di mall?
“Waaahh, Mommy seneng bisa bawa kamu ikutan urusan kerjaan Mommy. Jadi kamu bisa liat Mommy itu cari uang gimana. Tapi nanti Mommy bisa kan ya minta kamu duduk anteng dan manis sebentar selama Mommy meeting?
Tapi kalau kalau mu lapar, haus, atau mau wee-wee (baca: pipis), jangan lupa kasih tau Mommy..”
Dan lain-lainnya.
Dengan kita mempersiapkan anak kayak gitu, walaupun secara verbal aja, kurang lebih kita udah kasih tau dia nanti yang akan dia hadapi apa. Kalau ada masalah, jalan keluarnya gimana. Dan.. komunikasi antar ibu dan anak juga terjalin baik kan jadinya..
Kayaknya itu aja deh kurang lebihnya yang Madam dan suami terapin dalam ngedidik 4 anak Madam supaya nggak jadi pembully.
Si Sulung 17,5 tahun.
Si Kembar 13,5 tahun.
Si Kembar 13,5 tahun.
Si Bungsu 12,5 tahun.
Alhamdulillah nggak ada satupun yang menjadi pembully dimanapun mereka berada. (to be continued)
No comments:
Post a Comment