Gue punya temen baru seorang jurnalis. Gue share sedikit tentang dia karena gue yakin pasti akan ada manfaatnya untuk para wanita yang membaca. Para pria juga deng..
Namanya Rach Alida Bahaweres. Masih aktif bekerja di majalah Gatra dan juga aktif di AJI (Aliansi Jurnalis Independen). Ketika gue chatting dengan mbak Alida, langsung ngeklik aja gitu. Well, temen baru gue ini agak beda. Ibu beranak tiga ini mempunyai ketertarikan besar untuk membahas masalah perempuan melalui kemampuannya dan lingkungannya. Ya karena kebetulan mbak Alida ini adalah seorang jurnalis, jadi dia menyuarakan perjuangan masalah perempuannya melalui media. But hey, it's even sharper than a sword!
Ketika gue tanya sejak kapan dan kenapa awalnya kok suka nulis tentang permasalahan perempuan, jawabnya:
"Sejak awal, mba. Sejak kuliah S1 semakin keliatan ketertarikan di isu perempuan. Apalagi pembimbing S1 aku juga dosen terkait gender di UI. Walau beliau mengajarkan komunikasi.
Dari situ, aku aktif di AJI, membuat aku jadi harus semakin belajar juga tentang perempuan. Ditambah lagi, aku melihat, dulu jarang yang menulis tentang perempuan. Hal sederhana, nggak menulis tentang profil perempuan."
Dan ketika gue tanya lagi, apa particular reasonnya sehingga tertarik nulis isu perempuan? Jawabnya:
"Gimana ya. Aku melihat perempuan itu dulunya seringkali diangkat di media mengalami diskriminasi, yang diangkat banyak unsur seksualitasnya saja. Selain itu, korban kejahatan.
Media kan juga punya kode etik jurnalistik membahas tentang perempuan, tidak diskriminasi terhadap perempuan, tapi itu yang masih banyak pelanggaran. Apalagi aku menemui banyak perempuan yang disekelilingku menjadi korban"
Seiring dengan berjalannya waktu, mbak Alida pun dipertemukan dengan wanita yang menjadi korban KDRT, seksualitas, dan kejahatan lainnya. Mereka yang sudah menjadi korban, kerap kali malah diasingkan oleh masyarakat, mereka disalahkan, tapi satu sisi mereka harus bangkit untuk menghidupi anak-anak mereka.
Mbak Alida pernah dipertemukan dengan seorang wanita yang merupakan istri kedua, beranak 3, dan suami sedang dipenjara. Terbayang nggak oleh kita gimana pontang-pantingnya wanita tersebut bertahan menghidupi dirinya dan 3 anaknya? Tapi mungkin banyak juga yang langsung melihat ke akarnya: itulah kalau jadi istri kedua.. :( Gue sik beberapa kali bertemu dengan orang-orang judgemental seperti ini.
Lanjut lagi dengan cerita wanita tadi, ditengah kepontang-pantingan (ini emang ada yak kata kepontang-pantingan.. LOL) dia harus banting tulang kerja ini itu, sementara suaminya merongrong minta uang terus demi nyabu di penjara. For God's sake!!!
Ada satu lagi cerita..
Ketika sedang di Medan untuk sebuah acara, mbak Alida ini bertemu dengan seorang ibu. Ibu itu tersenyum. Mereka berdua ternyata sama-sama merupakan nara sumber. Bedanya si ibu merupakan nara sumber kesaksian. Di hadapan audiens, si ibu menceritakan tentang anaknya yang menjadi korban perkosaan oleh ayah kandungnya sendiri. Anaknya pun trauma pastinya. Udah kayak gitu, suaminya itu selingkuh pulak. WHAATTT!!!
Gue aja nggak bisa ngebayangin gimana cara ibu itu move on dengan hidupnya? Hatinya pasti hancur dengan kejadian anaknya diperkosa oleh ayahnya sendiri. Dan dia harus menjadi obat untuk trauma anaknya. Dan dia harus tetap berjuang bertahan hidup. Let's take a look at ourselves in the mirror. Gue merasa malu di keadaan yang seperti sekarang ini gue masih aja mengeluh. Gue harus perbanyak bersyukur dengan segala kemudahan dan kebahagiaan yang ada di hidup gue. Another reminder from my new friend. Inilah indahnya silaturrahmi.
Mari kita lihat dari sisi media. Menurut Mbak Alida, masih ada media yang mengangkat isu seperti contoh di atas dengan pendekatan tulisan yang menyalahkan perempuan.
Kemana si ibu kok anaknya bisa diperkosa?
Hal yang dipelajari oleh mbak Alida dari isu-isu perempuan yang ditemuinya adalah banyak perempuan yang mengalami diskriminasi dan menjadi korban, tapi mereka malah diasingkan. Perempuan itu kemudian bangkit dan berusaha sendiri. Sebaiknya, kita tak menyalahkan mereka tanpa tahu sebetulnya apa yang mereka alami. Karena hidup mereka sudah berat, kita belum tentu kuat bila berada di pihak mereka.
Semoga kedepannya gue akan dipertemukan lagi dengan teman baru yang semacam Mbak Alida, karena pasti akan ada hal-hal baru yang menjadi pelajaran hidup. And I hope akan semakin bertambah jumlah wanita yang ikut memperjuangkan isu-isu perempuan yang ada di kehidupan kita. Amin.
pengalaman memang membuat kita menjadi lebih care akan sesuatu ya mba.. kalau kita lihat berita media memang banyak juga yg ga sensitif gender dan isu perempuan.. DUkung Mba Alida untuk terus mengkampanyekan... DUkung! Dukung! eh kok kayak kampanye... :-)
ReplyDeleteTerima kasih tulisannya, mba Yonna. Aku suka kalimat mba Yonna "Sebaiknya kita tak menyalahkan mereka tanpa tahu sebetulnya apa yang mereka alami". Smoga tak banyak yang terdiskriminasi ya mba
ReplyDeleteThank for sharing, Mba Yonna! Aku pernah ketemu langsung nih dengan Mba ALida, tapi justru baru tau dr tulisanmu ini jika blio adalah seorang jurnalis dan aktif di AJI serta aktif pula menyuarakan ttg kaum perempuan di media. Wow, salut dengan Mba Alida.
ReplyDeleteSepakat, Mba. Kebanyakan masyarakat kita juga media, masih suka judgmental, hiks... bukannya mencoba memahami apalagi berempati, yang ada malah langsung menyalahkan.